DENPASAR- Meski banyak laporan anak-anak yang berhadapan dengan hukum, baik sebagai korban maupun pelaku, namun hingga kini Provinsi Bali belum memiliki Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA) untuk melindungi hak-hak mereka.
Keberadaan RSPA dipandang penting dalam melayani anak yang mengalami tindak kekerasan dan perlakuan salah (Emergency Services), perlindungan (Protection), hingga pemulihan kondisi tekanan serta trauma.
Belum beroperasinya RSPA sangat disayangkan kalangan aktivis anak di Bali, sebab hal itu bakal berdampak pada kurang optimalnya proses pendampingan terhadap anak yang berhadapan hukum (BHA).
"Anak-anak yang tengah berkonflik dengan hukum itu butuh waktu lama selama menjalani proses hukum. Mereka butuh tempat penampungan atau semacam shelter yang nyaman saat pendampingan," kata Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Provinsi Bali I Nyoman Masni di sela Workshop dan Sosialisasi "Restorative Justice" di Denpasar, Kamis (17/5/20120).
Data di LPA Bali 2011, tindak kejahatan yang melibatkan anak-anak tercatat sebanyak 26 kasus, dengan 9 di antaranya anak-anak sebagai pelaku dan sisanya sebagai korban.
Masni menjelaskan, mereka perlu dilindungi hak-haknya selama berkonflik hukum baik sebagai saksi atau korban maupun pelaku suatu tindak kejahatan atau pidana. Demikian pula, terhadap peristiwa yang dialami seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT),
Idealnya di RPSA tersebut dilengkapi dengan fasilitas yang memungkinkan anak-anak mendapat akses pelayanan kesehatan, agama, atau pendidikan.
Belum beroperasinya RPSA di Bali, ternyata disebabkan kurangnya atau tidak adanya dukungan dana operasional dalam mengelola lembaga tersebut.
Dari pengajuan Rp100 juta ke pemerintah pusat, kata dia, hanya disetujui Rp63 juta per tahun. Dana sebesar itu dinilai tidak cukup untuk bisa menjalankan atau pengelolaan lembaga RPSA karena telah diberikan untuk anak-anak dan pendampingan.
Di pihak lain, LPA terus menyosialisasikan penerapan restorasi justice sebagai proses penyelesaian perkara pidana yang menitikberatkan partisipasi langsung pelaku, korban, dan masyarakat dalam proses penyelesaian perkara pidana.
Sesuai Surat Keputusan Bersama (SKB) Kapolri, Jaksa Agung, Ketua MA, Menkum HAM, Menteri Sosial, dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor B/45/XII/2009, jelas diatur bagaimana penerapan restorasi justice atau keadilan restoratif.
Keberadaan lembaga adat seperti di Bali dikenal Desa Pekraman, juga dipandang penting dalam mendorong penyelesaian perkara pidana dengan penerapan restorasi justice.
(kem)
Sindikasi news.okezone.com
Banyak Tersangkut Hukum, Bali Butuh 'Shelter' Anak